Karya tulis adalah sebuah tugas yang sudah mulai diberikan kepada Pelajar setingkat SLTA biasanya karya tulis ini dimulai dengan pelaksanaan Study Taour terlebih dahulu atau penelitian yang lainya.
dalam kesempatan ini saya akan mencoba mempostingkan contoh kecil karya tulis yang sudah dilaksanakan di MA Nurul Haq BK.Putra Rumbia Lam-teng walau tidak semua bisa sy posting disini. setia sekolahan belum tentu sama dalam menyusun kerangka dalam pembuatan karya tulis tersebut jadi gak usah heran bila cari perbandingan ko' beda2 tp intinya saya supaya siswa kreatif.
PERJUANGAN SUNAN KALIJAGA
DAN SUNAN KUDUS
KARYA TULIS
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan UAN/UAS
Madrasah Aliyah Nuurul Haq Binakarya Putra
Kecamatan Rumbia Lapung Tengah
Tahun Pelajaran 2013-2014
Oleh
Nama :
SUDARMAWAN
NIS/NISN :
056/9969616850
Kelas
: XII IPS
Program Pilihan :
IPS
Logo Sekolah
MADRASAH
ALIYAH NUURUL HAQ
BINAKARYA PUTRA
KECAMATAN RUMBIA
KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
2014
Setelah Cover ditambah Halaman Pengesahan, Halaman Persetujuan, Biodata Penulis, Kata Pengatar, daftar isi. dalam kesempatan ini tidak kami lampirkan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Wali adalah sekelompok manusia pilihan Allah SWT, yang di beri perintah untuk membawa umat ke jalan yang benar dan di ridhoi oleh Allah. Adapun di sebut Wali Songo , karena Wali yang terkenal dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa berjumlah sembilan orang. Oleh sebab itu, kami mengadakan penelitian, dengan maksud agar kami mendapat gambaran baik silsilahnya, cara menyebarkan agama dan ajarannya, letaknya, namanya, kisah dan usaha dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa pada khususnya, Indonesia (Nusantara) pada umumnya.
Selain itu, yang melatar belakangi penelitian ini adalah karena di wajibkan setiap kelas Dua belas untuk membuat karya tulis sebagai salah satu syarat mengikuti Ujian Nasional (UN) / Ujian Akhir Madrasah (UAM), sehingga dengan penuh tanggung jawab kami melaksanakannya.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah keilmuan dan dapat mengambil pelajaran untuk diri kami sendiri dan pengetahuan kepada pembaca tentang Wali Songo khususnya Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ada di tanah Jawa.
1.2 Batasan Masalah
Agar karya tulis ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan dan untuk menghindari kemungkinan meluasnya masalah yang akan diteliti serta demi efektif dan efesiennya penelitian ini maka perlu adanya pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah “Peranan Sunan Kalijaga Dan Sunan Kudus Dalam Penyebaran Agama Islam Di Jawa”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah yang menentukan dalam suatu aktivitas agar berhasil, oleh karena itu harus menentukan tujuan sesuai dengan karakteristik permasalahan.
Adapun tujuan kami mengadakan penelitian adalah :
1. Untuk bisa mengikuti Ujian Akhir Madrasah (UAM) /Ujian Nasional (UN) pada Madrasah Aliyah Nuurul Haq tahun ajaran 2013/2014,
2. Untuk mengetahui lebih dalam tentang peninggalan-peninggalan para Waliyulloh, serta sejarah perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam terutama Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus,
3. Untuk menambah pengalaman dan wawasan ke-Islaman,
4. Untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Selain penelitian yang lebih penting adalah niat kita untuk berziarah dan mendo’akannya, dengan harapan melalui karomahnya, Allah SWT berkenan menurunkan berkahnya Waliyulloh kapada kami, Amin Ya Robbal’alamin
BAB II
METODE PENGUMPULAN DATA
Dalam penulisan karya tulis ini kami menggunakan beberapa metode dalam rangka pengumpulan data, adpun metode-metode yang kami gunakan sebagai berikut :
1. Metode Observasi
Dalam metode ini penulis mengunjungi atau mendatangi langsung lokasi dan tempat-tempat yang berkaitan dengan peninggalan Sunan Kalijaga, seperti : Masjid Agung Demak dan Ampel, penulis juga mendatangi/berziarah di makam Sunan Kudus dan makam-makam wali lainnya.
2. Metode Perpustakaan
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku panduan yang berkaitan dengan Sunan Kalijaga dan Maulana Malik Ibrahim, guna menambah pengalaman yang lebih luas dan mengerti sejarah Sunan Kalijaga dan Maulana Malik Ibrahim serta menembah bobot dalam pembuatan karya tulis ini.
BAB III
LAPORAN HASIL OBSERVASI
3.1 Penyebaran Islam Di Tanah Jawa Oleh Wali Songo
Walisongo atau Walisango dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
3.2. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
3.3. Sunan Kudus
Sunan Kudus Lahir 9 September 1400 Masehi/ 808 Hijriyah ,Al-Quds (Palestina) Meninggal 5 Mei 1550 Masehi/ 958 Hijriyah ,Kudus Jawa Tengah (Indonesia) Sebab meninggal dalam keadaan bersujud ketika sholat subuh Tempat tinggal kudus Jawa Tengah.
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat,menjadi,Panglima,Perang.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak
3.4 Metode Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam bidang dakwah, sunan Kalijaga punya pola yang sama dengan seniornya sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
3.5 Metode Dakwah Sunan Kudus
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonangyang menerapkan strategi seperti ini.
3.5.Strategi Pendekatan Kepada Massa
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah
Tut Wuri Handayani artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam menyiarkan agama Islam
Pada akhirnya boleh saja merubah adat dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam
3.6 Merangkul Masyarakat Hindu
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini. Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu.
3.5.3. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah Mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudlu dengan pancuran yang berjumlah tujuh. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan Berlipat Tujuh” atau “Asta Sanghika Marga” yaitu:
Harus memiliki pengetahuan yan benar
Harus memiliki keputusan yang benar
Berkata yang benar
Hidup dengan cara yang benar
Bekerja dengan benar
Beribadah dehgan benar
Dan menghayati agama-agama dengan benar
Usahanya itu pun berhasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambing wasiat Budha itu di Pedasan atau tempat berwudlu. Sehingga mereka berdatangan ke Masjid untuk mendengarkan keterangan dari Sunan Kudus.
3.7. Karya Dan Peninggalan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah seorang ulama yang dapat membawa diri dalam pergaulan dengan segala lapisan masyarakat. Kalau kebanyakan para wali berdakwah dengan cara mendirikan pondok pesantren, maka Sunan Kali jaga lebih suka berdakwah dengan cara keliling daerah-daerah. Sebab itulah beliau terkenal sebagai Syaikh Malaya, artinya muballigh yang menyiarkan agama dengan,mengembara.
Disamping itu juga terkenal di kalangan masyarakat tingkat atas sampai bawah, bahwa beliau adalah seorang wali memiliki keistimewaan tersendiri diantara para wali. Beliau sebagai muballigh yang ahli seni. Dalam tatacara dakwahnya, kepercayaan lama dan adat istiadat tidak ditentang begitu saja. masyarakat awam didekati dengan cara yang manis dan halus, sehingga dengan senang,hati,mereka,menerima,kehadirannya.
Kesenian rakyat yang dimanfaatkan untuk alat berdakwah ternyata membawa keberhasilan yang memuaskan, yaitu rakyat jawa disaat itu hampir seluruhnya dapat menerima ajakannya mengenal Islam. Karena demikian cara yang dipilihnya, pantaslah kalau orang-orang memberi gelar Ahli Budaya. Dan lagi memang banyak seni dan ciptaannya, seperti :
Dalam seni pakaian beliau adalah orang pertama pencipta baju taqwa yang kemudian disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan dilengkapi dengan rangkaian keris dan lain sebagainya. Sampai sekarang baju ini masih tetap digemari oleh masyarakat Jawa.
Mengenai seni suara , beliau pencipta tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.
Kalau di zaman sebelum Sunan Kalijaga, kebanyakan seni ukir hanya bermotif manusia dan binatang saja. tetapi setelah datang zamannya para wali, terutama Sunan Kalijaga yang menciptakan seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat tempat penggantungan gamelan dan bentuk ornamen lainnya, yang sampai sekarang mendapat tanggapan sebagai seni ukir nasional.
Beliaulah yang pertama kali mempunyai gagasan menciptakan bedug di masjid untuk memanggil orang shalat berjama'ah. Mula-mula beliau memerintahkan muridnya yang bernama Ki Pandan Arang (Sunan Bayat) untuk membuat bedug di masjid Semarang, Jawa Tengah.
Grebeg Maulid adalah juga Sunan Kalijaga yang memprakarsainya, yaitu pada mulanya pengajian akbar yang diselenggarakan para wali di masjid Demak untuk memperingati Maulid Nabi S.A.W.
Sunan Kalijagalah yang menciptakan Gong Sekaten artinya Gong Syahadataini yang maknanya dua kalimah syahadat. Gong Sekaten ini mempunyai falsafah , suara setiap alat gamelan yang menyatu, diartikan : Disana...disini....disitu mumpung masih ada waktu, yaitu mumpung masih diberi kesempatan hidup berkumpullah dan cepat-cepat masuk agama Islam, kalau sudah mati biar tidak termasuk orang yang merugi. Demikianlah sedikit kisah Sunan Kalijaga, semoga bermanfaat.
3.8. Karya dan Peninggalan Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu.
Masjid kuno kudus adalah diantara peninggalan sunan kudus, masjid yang di beri nama Baitul Makdis atau Masjidil Aqsa atau Al – Manar. Masjid tersebut telah mengalami berkali-kali pembongkaran dan perbaikan, sehingga bentuknya yang asli tidak dikenal lagi. Masjid kuno di Kudus di dirikan oleh Ja’far Shadiq tahun 956 H, bertepatan dengan tahun 1549 M.
Lawang kembar berada pada bagian serambi dengan masjid. Di atas serambi di bangun pula Qubbah yang besar. Bentuk Qubbahnya menggunakan style bangunan di India. Di atas puncak masjid (mustaka) terbuat dari emas yang bertangkai kaca yaitu masjid kuno kudus. Bukan mustakanya yang terbuat dari emas, melainkan bagian atas dari mustaka tersebut di hiasi dengan emas.
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan,rakyat,dan,umatnya.
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan."
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara utuh ).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang mensucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara
Fenomena ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu Indentitas kultural ).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.3. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan dan memahami dalam penyusunan karya tulis ini akhirnya penulis bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut :
4.3.1 Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus adalah sosok ulama’ disamping memiliki ilmu agama yang dalam jagu sangat faham betul adat istiadat masyarakat pada waktu itu.
4.3.2 . Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus mengusung budaya lokal dan seni sebagai media dakwah penyebaran agama Islam seperti seni suara, seni ukir dll
4.3.3. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus dengan santun mampu merangkul dan mengikis budaya sedikit demi sedikit budaya umat Hindu dan Buda yang pada waktu itu masih memiliki pengikut yang banyak ditanah jawa.
4.3.4. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus menciptakan gagasan – gagasan dan kreatifitas baru sebagai media dakwah seperti pembuatan beduk untuk mengumpulkan jama’ah sholat, Grebek Maulid, Gong sekaten, pendirian masjid Agung Demak, Menara Kudus dll
4.3.5. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus disamping sosok ulama’ yang dekat dengan masyarakat tapi juga mempunyai adil besar dengan pemerintahan pada waktu itu baik sebagai penasehat raja, panglima perang dan hakim.
4.4 Saran-Saran
Dalam menyusun karya tulis ini penulis mengemukakan saran-sarannya sebagai berikut :
4.4.1. Sebaiknya kita membaca buku-buku tentang Wali Songo pada umumnya dan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus pada khusunya karena banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil.
4.4.2. Sekarang Islam sudah tersiar ke seluruh Indonesia, dan menjadi tugas para mubaligh dan generasi penerus untuk melanjutkan dakwah para wali.
.